Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkimpoian, dan secara perlahan –lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di masa awal perkimpoian, saya juga sama seperti ibu, berusaha
menjaga keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai,
dengan sungguh-sungguh berusaha memelihara perkimpoian sendiri.
Anehnya, saya tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak bahagia.
Saya merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak enak,
lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak dengan
sepenuh hati.
Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak bahagia. .
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan lantai,
suami saya berkata : istriku, temani aku sejenak mendengar alunan musik!
Dengan mimik tidak senang saya berkata : apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum di pel ?
Begitu kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang
sangat tidak asing di telinga, dalam perkimpoian ayah dan ibu saya, ibu
juga kerap berkata begitu sama ayah.
Saya sedang mempertunjukkan kembali perkimpoian ayah dan ibu,
sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan dalam perkwinan mereka.
Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan ?
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat akan ayah saya…
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkimpoiannya,
Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan dalam perkimpoiannya,
Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada menemaninya.
Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara ibu dalam
mempertahankan perkimpoian, ia memberi ayah sebuah rumah yang bersih,
namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha mencintai
ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan rumah
tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha mencintai suamiku.
cara saya juga sama seperti ibu, perkimpoian saya sepertinya tengah
melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik mengapa tidak
diiringi dengan perkimpoian yang bahagia.
Kesadaran saya membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama.
Saya hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami,
menemaninya mendengar musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel
di atas lantai seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : apa yang kau butuhkan ?
Aku membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor
sedikit tidak apa-apa-lah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan
begitu kau bisa menemaniku! ujar suamiku.
Saya kira kamu perlu rumah yang bersih, ada yang memasak untukmu, ada
yang mencuci pakianmu….dan saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal
yang dibutuhkannya.
Semua itu tidak penting-lah! ujar suamiku. Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku.
Ternyata sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat saya terkejut.
Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.
Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun, bukannya cara pihak kedua.